-

About

javascript:void(0)

Kamis, 12 Januari 2012

Apa Yang Kau Cari...?

Dalam kajian para filosofi manusia menjadi salah satu obyek kajian tersendiri,
filsafat manusia.
Diantara yang dibahas adalah tujuan hidup manusia.
Sebut saja Aristoteles, seorang filosofi yang sudah tak asing lagi, dari Yunani.
Konsep tujuan hidup manusia menurut Aristoteles terkenal dalam karyanya
Ethika Nicomachea, yaitu, “Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).
Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi pada satu sisi,
dan pada sisi lain tidak masuk akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang lain.
Hidup manusia akan semakin bermutu manakala semakin dapat mencapai apa
yang menjadi tujuan hidupnya.
Dengan mencapai tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya secara penuh,
sehingga mencapai mutu yang terbuka bagi dirinya”.

Secara sederhana pernyataan filsuf legendaris tersebut sejalan dengan  fitrah manusia.
Dimana manusia lebih cenderung (baca mencari) kebahagiaan
dan cenderung menghindari kesedihan atau kesusahaan.
Jika memang mencari kebahagiaan adalah fitrah dan tujuan hidup manusia.
Lantas pertanyaannya kebahagiaan seperti apa ?
Kemudian apakah semata-mata hanya mencari kebahagiaan ?

Banyak orang menafsirkan dan memaknai kebahagiaan disini.
Salah satu yang sering dianggap dapat mewujudkan kebahagiaan secara mutlak
adalah jika mendapatkan kekuasaan, harta, dan wanita.
Karena itu tak jarang kita melihat sekian banyak orang berlomba-lomba mendapatkan
ketiga hal yang mendasar tersebut.

Pada akhirnya terjebak dalam gaya hidup hedonis bahkan menjadi hamba dunia.
Islam mempunyai konsep yang lebih sempurna dan jelas tentang tujuan hidup manusia ini.
Alloh SWT berfirman dalam Al Qur’an “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz Dzariaat [51] : 56).

Ini adalah hal yang paling mendasar dalam konsep Islam tentang tujuan hidup manusia.
Tidak lain manusia diciptakan untuk beribadah kepada Alloh SWT.

Sebagai Sang Pencipta maka Alloh mempunyai hak yang absolut terhadap hambanya.
Menurut Ibnu Abas dalam tafsir Ibnu Katsir, kalimat “Liya’buduun” dalam ayat tersebut bermakna
“ menghambakan diri kepada Alloh dan mengagungkan-Nya”.
Dengan begitu ibadah disini mempunyai cakupan arti yang luas.
Tidak hanya sebatas ibadah yang kita kenal, yaitu, sholat, zakat, shaum, dan haji.
Secara sederhana dapat kita pahami, segala sesuatu yang diniatkan lillahi ta’la
dan tidak melanggar syariat maka ia bernilai ibadah, insya Alloh.

Yang sangat menarik di sini ternyata ibadah tidak hanya bekerja secara sepihak.
Akan tetapi mempunyai timbal balik bagi manusia itu sendiri.
Ibadah bukan hanya semata-mata kewajiban kita sebagai seorang hamba
kepada Sang Penciptanya.
Ibadah mempunyai efek psikis yang menjadi tujuan hidup dalam kacamata filsafat, yaitu kebahagiaan.
Jika kita benar-benar telah ikhlas dan benar-benar memahami hakikat ibadah itu sendiri.
Kita akan merasakan kebahagiaan setiap kali kita selesai menunaikan ibadah.
Artinya ibadah apapun itu bukan semata-mata gerak tubuh dalam ritual khusus.
Juga bukan semata menunaikan kewajiban.
Rosululloh SAW bersabda, “Berdirilah Bilal, maka nyamankan kami dengan sholat”
(H.R Abu Dawud).
Dalam riwayat lain “Wahai Bilal dirikanlah sholat (maksudnya kumandangkanlah adzhan
untuk panggilan sholat wajib) nyamankan kami dengannya (dengan sholat)."

Dari hadis tersebut jelas menggambarkan bahwasanya sholat (ibadah) membawa kenyamanan
bagi yang menunaikannya.
Bahkan ketika ia meninggalkannya maka ia akan merasa sedih.
Sebaliknya ketika ia menunaikannya ia akan merasa bahagia.
Wallohu a’lam bis showab.

0 komentar:

Posting Komentar