-

About

javascript:void(0)

Kamis, 12 Januari 2012

Mencermati Kondisi Batin ~1~ : Ketika Kita Sedang dalam Kondisi Normal

• Orang yang serba berkecukupan seringkali sulit beribadah secara khusyuk
dan merasa tidak akrab dengan Tuhannya,

meskipun melakukan berbagai ketaatan dan ibadah, kenapa?
• Bagaimana dan apa kiatnya untuk memperoleh kedekatan diri dengan Tuhan
dalam keadaan seperti ini?
Kondisi batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal.
Ketika semua kebutuhan tercukupi apalagi berlebihan.
Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan dan kekecewaan hidup lainnya
lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT ketimbang kondisi batin
yang sedang berkecukupan, baik dari segi kuantitatif maupun segi kualitatif.
Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda satu sama lain.
Namun wacana di dalam Islam dibedakan atas beberapa tingkatan kebutuhan, yaitu:

1) Kebutuhan dhorury, yakni kebutuhan pokok atau basic needs
seperti kebutuhan akan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri.
2) Kebutuhan hajjiyat, yakni kebutuhan yang penting tetapi belum menjadi
kebutuhan pokok, seperti kebutuhan akan sebuah tempat tinggal,
kendaraan, dan alat komunikasi.
3) Kebutuhan tahsiniyyat, yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap (luxury),
seperti perabotan yang bermerek, aksessoris kendaraan, dan handphone yang lebih canggih.

Seseorang yang berada dalam tingkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati
karena perjalanan spiritual dalam kondisi seperti ini seringkali jalan di tempat.
Bahkan berpeluang untuk diajak turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia.
Berbeda jika seseorang sedang dirundung duka, sedang diuji dengan kebutuhan mendesak,
atau sedang dilanda penyesalan dosa yang mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan
yang bersifat materi.
Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sulit mendaki (taroqqi) ke langit.
Sebagai contoh, orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk
dalam sholatnya, bukan hanya karena banyaknya godaan dunia yang ada dalam pikirannya,
tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger,
semacam roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit.

Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan.
Seperti orang yang merasakan kesulitan yang sesegera mungkin harus mengeluarkan diri
dari kesulitan itu.

Itulah sebabnya Rosululloh SAW pernah mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang
yang teraniaya (mazhlum) karena doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan.
Memang dalam Islam dikenal ada dua sayap efektif yang bisa menerbangkan
seseorang menuju Tuhan, yaitu sayap sabar dan sayap syukur.

Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan
seperti musibah, penyakit kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup.
Jika sabar menjalani cobaan itu, maka dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap
yang akan mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan.

Sayap kedua ialah syukur.
Sayap syukur terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri
berbagai karunia dan nikmat Tuhan, seperti seseorang mendapatkan rezki melimpah,
jabatan penting, dan kesehatan prima.

Sayap sabar dan sayap syukur sama-sama bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan
tetapi pada umumnya hentakan sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur.
Sayap sabar seolah-olah memiliki energi ekstra yang bisa melejitkan seseorang.
Energi ekstra itu tidak lain adalah rasa butuh yang amat sangat terhadap Tuhan (roja’),
penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakkal), dan olah batin yang amat dalam (mujahadah).

Ketiga energi ekstra ini biasanya sulit terwujud di dalam diri orang yang berkecukupan.
Bagaimana mungkin seseorang merasa butuh terhadap Tuhan,
sementara semua kebutuhan hidup serba berkecukupan.
Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan
sementara ia terperangkap di dalam dunia popularitas.
Bagaimana mungkin melakukan olah batin sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia.
Bagaimana mungkin khusyuk beribadah sementara perutnya kekenyangan.
Orang yang hidupnya selalu berkecukupan dan enjoy dengan kehidupan seperti itu adalah sah-sah saja.
Akan tetapi jika ia lupa bahwa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai mempersiapkan
bekal kehidupan akhirat maka pertanda hidup itu tidak berkah baginya.
Mungkin saja orang itu sesungguhnya hidup di dalam kebahagiaan semu,
selalu dibayangi oleh suasana batin yang hambar, kering, dan membosankan.

Di dalam Islam, kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan
dan kebahagiaan jiwa (al-ghina minan nafs).
Tanpa kekayaan dan kebahagiaan jiwa maka sesungguhnya tidak ada kekayaan
dan kebahagiaan sejati.
Islam tidak melarang orang untuk mengumpulkan kekayaan materi,
bahkan Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif tetapi tetap efisien dan efektif.

"Dunia adalah cermin akhirat", demikian kata Hadis.
Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses.
Ibadah mahdhoh seperti sholat, zakat, haji, bahkan puasa, pun membutuhkan cost.
Semuanya perlu biaya dan biaya itu urusan dunia.
Kiat mengatasi suasana batin yang berada dalam kondisi normal ialah memperkuat
semangat roja’ dan mujahadah di dalam diri.
Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan halwat
atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Rosululloh di Goa Hiro’,
ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping isterinya Khodijah yang kaya,
bangsawan dan serba berkecukupan.
Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil
atau jauh-jauh meninggalkan kediaman dan keluarga.
Yang paling penting ada suasana ’uzlah (pemisahan diri) sementara dari suasana
hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman.
Bisa saja dengan melakukan i’tikaf di salah satu masjid,
apalagi di dalam bulan suci Romadhon.

Di dalam masjid kita berniat untuk beri’tikaf karena Alloh SWT.
Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Al-Qur’an
lebih banyak, sholat, tafakkur dan berzikir.
Niatkan bahwa masjid ini adalah goa Hiro’ atau goa Kahfi, yang pernah mengorbitkan
kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Khidhir, melejit ke atas
dan mendapatkan pencerahan.

Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita,
tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito
dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi,
dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah (dho’if) di mata Alloh.
Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak.

Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Alloh.
Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah
dan di alam baqo di akhirat.
Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan shodaqoh, luruskanlah pikiran kita dengan dzikrulloh,
dan lembutkanlah jiwa kita tafakkur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirothol mustaqim.
Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahzan innalloha ma’ana
(Jangan khawatir, Alloh bersama kita),Amin.

0 komentar:

Posting Komentar