-

About

javascript:void(0)

Sabtu, 21 Januari 2012

Apa Makna Ayat Menurut Para Sufi ?

Secara harfiah ayat berarti tanda dan alamat.
Mirip dengan arti 'alam atau 'alamah yang juga bisa berarti tanda, simbol, atau alamat.
Ayat kemudian lebih populer dengan kalimat-kalimat di dalam Al-Qur’an
yang sering disebut berjumlah 6.666 ayat.
Kumpulan sejumlah ayat disebut suroh yang berjumlah 114 suroh,
diawali Al-Fatihah diakhiri An-Nas.

Ayat paralel dengan pasal di dalam Bibel.
Kata ayat dalam berbagai bentuknya di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 382 kali.
Dalam bentuk mufrad 86 ayat, mutsanna 1 ayat, dan jama' 295 ayat.
Berkali-kali penyebutan ayat di dalam Al-Qur’an hanya sedikit sekali
berarti ayat-ayat Al-Qur’an.

Pada umumnya kata ayat berarti tanda dalam pengertian generik meliputi
semua fenomena yang tampak, seperti fenomena alam raya.

Oleh karena itu, EW Lane dalam Arabic-English Lexicon-nya
menjelaskan kata ayat sebagai,
"Properly signifies any apparent thing inseparable from a thing not equally apparent,
so that when one perceives the former, he knows that he perceives the other,
which he cannot perceive by itself."

Yaitu, secara tepat bermakna sesuatu yang tampak adalah tak terpisahkan
oleh sesuatu yang tidak tampak.
Sehingga ketika seseorang memahami yang tampak, dia tahu bahwa dia memahami
yang tidak tampak di mana yang tidak tampak tidak bisa dipahami dengan dirinya sendiri.

Definisi yang dijelaskan oleh Lane sepertinya mengintrodusir pemaknaan ayat
menurut para sufi dan filsuf Muslim yang sering menekankan alam raya
dan segala kompleksitasnya disebut sebagai ayat yang juga harus dibaca
sebagaimana halnya ayat-ayat Al-Qur’an.

Dari sini muncul istilah ayat-ayat Qur'aniyah dan ayat-ayat Kauniyyah.
Yang pertama berarti tanda dalam bentuk huruf-huruf kecil yang terbentang
di dalam kitab suci Al-Qur’an dan yang kedua berarti tanda dalam bentuk huruf-huruf besar
yang terhampar di dalam jagat raya.

Ayat paling pertama Alloh turunkan ialah Iqro', tentu yang harus dibaca saat itu
bukan ayat-ayat Qur'aniyah karena jelas belum turun.
Tentu, perintah membaca itu dialamatkan pada ayat-ayat Kauniyyah,
yaitu membaca alam raya dengan melibatkan Tuhan sebagai Sang Pencipta
(Iqro' bi ismi Robbik, alladzi kholaq).

Para arifin mengembangkan pembagian makna ayat  yang sepadan dengan kata 'alam
ke dalam dua bagian, yaitu alam makrokosmos (al-'alamul-kabir) yang berarti  alam raya
dan alam mikrokosmos (al-'alamush-shogir) yaitu manusia.
Individu manusia disebut mikrokosmos karena melambangkan seluruh kualitas

yang dijumpai di dalam diri Alloh dan makrokosmos.
Ingat bahwa individu manusia tersusun dari seluruh jenis alam
(mineral, tumbuhan, dan hewan) dan seluruh sifatnya (panas dari api, dingin dari air,
padat dari mineral, dan lembut dari angin) dari satu sisi,
dan pada sisi lainnya langsung dari Tuhan sendiri, yaitu ruh (wa nafakhtufihi min ruhi).

Kalangan sufi menghubungkan makrokosmos dengan al-áfáq
dan mikrokosmos dengan al-anfus, sebagaimana disebutkan di dalam suroh Ash-Shoffat 41, 
"Sanurihim áyatiná fi al-áfáqi wa fí anfusihim hatta yatabayyana lahum annahu al-Haq.''
(Kami akan memperlihatkan tanda-tanda Kami di segenap penjuru/cakrawala
dan di dalam diri mereka sendiri).

Ayat di atas mengisyaratkan dua tanda atau alamat untuk mengenal, mendekatkan diri,
dan "menyatukankan" diri,  yaitu penghayatan terhadap alam raya di luar diri manusia
dan perenungan dari dalam diri sendiri.
Kedua jalur ini sama-sama akan mencapai tujuan dan objek yang sama.

Pendekatan ini juga dikenal di dalam agama Hindu, yaitu pendekatan pertama
dihubungkan dengan Brahma dan pendekatan kedua dihubungkan dengan Atma.
Ayat dalam arti tanda yang memberikan informasi hal ihwal Alloh SWT
bisa dalam bentuk seorang nabi, kitab, dan alam raya.

Bisa juga berhubungan dengan alam lahiriah makrokosmos dan alam batiniah mikrokosmos,
seperti disebutkan dalam suroh  Adz-Dzariyat ayat 20-21, "Dan di bumi ada tanda-tanda (kebesaran Alloh)
bagi orang-orang yang yakin, dan di dalam dirimu sendiri,apakah kalian tidak perhatikan."

Banyak lagi istilah Al-Qur’an yang mengungkapkan bahwa semua objek alam
adalah tanda-tanda Alloh (ayat Alloh).
Seruan untuk menyadari ayat-ayat tersebut diungkapkan dalam berbagai macam istilah,
seperti:
ayatin li qowmin yatafakkarun (Tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir/QS 30:21),
ayatin li qowmin yasma'un (Tanda-tanda bagi orang-orang yang mendengar/QS 30:23),
ayatin li qowmin ya'qilun (Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal/QS 30:34),
ayatin li qowmin yu'minun (Tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman/QS 30:37),

ayatin li qowmin li kulli shobbarin syakur
(Tanda-tanda bagi orang-orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur/QS 31:31),
dan wa fil-ardhi áyát lil-múqinín (Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh)
bagi orang-orang yang yakin/QS 51:20).

Perhatikan ayat-ayat lain yang menantang kita untuk mengevaluasi model pendekatan kita
terhadap kajian alam, seperti ayat-ayat berikut:
"Dan tanah yang baik, keluarlah darinya tanaman (subur) dengan seizin Tuhannya.
Tetapi (tanah) yang buruk, hanya keluar darinya tanaman yang merana.
Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami)
kepada kaum yang bersyukur." (QS al-A'rof/7:58).

Juga, "Dalam silih berganti malam dan siang (dalam) segala yang Alloh ciptakan di langit
dan di bumi, ada tanda-tanda (kebesaran-Nya)
bagi orang-orang yang bertakwa (kepada-Nya)." (QS Yunus/10:6).

Seruan Alloh SWT untuk memperhatikan dan menghayati ayat-ayat-Nya
bukan hanya untuk menekankannya sebagai objek sains dan untuk kepentingan praktis
dan pragmatis manusia sebagai kholifah di jagat raya, melainkan juga mendorong manusia
untuk memahami hal ihwal di balik objek itu.

Apa hubungan, makna, dan iktibar antara tanda dan yang ditandai, antara nama
dan yang dinamai, antara sifat dan yang disifati?
Seperti definisi ayat dari Lane di atas, kita diminta untuk memahami bahwa Alloh SWT
memang tidak tampak, tetapi jejak dan ciri-ciri-Nya yang bersifat teologis
dan teologis sangat mengagumkan.

Pesan-pesan yang dapat disimak dari berbagai makna ayat dalam Al-Qur’an
menurut Sachiko Murata, seolah mengecilkan arti pemikiran yang bercorak ilmiah
yang selama ini sering diapologikan oleh umat Islam.

Ia mengatakan, "This idea might be expressed by saying that the Koran discorages
 'scientific' thought while encouraging 'poetic' thought.
It asks people to look at the meaning and inner significance of things in relation to God.
It warns them against imagining that the significance of phenomena is limited
to their relationships with other phenomena.
Attention must be turned primarily toward those qualities of existing things that tell us
of the ultimate reality beyond the things.
These qualities provide intimations of God's modes of activity
or His own names and attributes."

(Gagasan ini bisa diungkapkan dengan ungkapan bahwa Al-Qur’an mengecilkan
pemikiran bercorak "saintifik" sambil mendorong lahirnya pemikiran bercorak "puitis".
Ia meminta manusia untuk melihat makna dan hikmah hakiki dari segala sesuatu
dalam kaitannya dengan Alloh.
Ia mengingatkan manusia agar tidak membayangkan bahwa makna fenomena
hanya terbatas pada bentuk dan tampak lahiriahnya saja atau pada hubungannya
dengan fenomena lainnya.
Perhatian harus ditujukan kepada kualitas-kualitas dari apa yang ada,
yang memberitahukan adanya realitas hakiki di balik segala sesuatu.
Kualitas-kualitas ini memberikan berbagai isyarat ihwal modus-modus aktifitas Alloh
atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya sendiri).

Dalam era post modernisme, tampak ada kecenderungan para saintis untuk menghubungkan
temuan-temuannya dengan sesuatu yang merupakan beyond alam semestayang menjadi objek kajianya.
Dengan kata lain, ada kesadaran intelektual baru bahwa kajian sains tidak cukup
atau tidak saja untuk sains itu sendiri, tetapi di balik aktifitas sains ada juga
aktifitas nonsains yang terus berproses seiring berjalannya proses dan aktifitas sains itu sendiri.

Akhirnya, keterlibatan Tuhan dalam proses sains tidak lagi asing,
sebagaimana halnya di dalam era positifisme yang menyingkirkan Tuhan
di dalam berbagai aktivitas sains.
Seolah-olah peran Tuhan sudah digeser oleh berbagai temuan sains.

Pemaknaan ayat oleh  para sufi sebagaimana diuraikan di atas menarik untuk disimak
sehubungan dengan terjadinya krisis lingkungan alam sebagai kesalahan persepsi manusia
yang selama ini menganggap alam ini semata-mata sebagai objek.

0 komentar:

Posting Komentar