-

About

javascript:void(0)

Sabtu, 21 Januari 2012

Mencermati Kondisi Batin Ketika Kita Ditimpa Musibah dan Kekecewaan

• Apa hakekat musibah itu?
• Bagaimana menjadikan musibah sebagai surat cinta Tuhan ?
• Bagaimana bersahabat dengan musibah?
• Bagaimana Al-Qur’an & hadits berbicara tentang musibah dan kekecewaan ?

Musibah dapat dibedakan dengan azab dan bala.
Musibah adalah ujian yang harus dilewati seorang hamba
dan berfungsi sebagai proses pembelajaran agar kehidupan masa depan kita

dapat dijalani dengan lebih baik.
Musibah tidak hanya menimpa bagi para pendosa tetapi juga orang-orang yang sholeh.
Berbeda dengan azab, siksaan yang hanya diperuntukkan kepada mereka yang durhaka
seperti azab yang pernah ditimpakan umat-umat  terdahulu.
Azab tidak menimpa orang yang sholeh, seperti Banjir Nuh yang hanya menenggelamkan
umat Nabi Nuh yang durhaka sedangkan dirinya bersama pengikut setianya selamat.
Demikian pula umat Nabi Sholeh, ia bersama umat setianya selamat dari wabah epidemi
yang menimpa kaumnya, juga kakeknya Nabi, Abdul Mutholib selamat dari keganasan
thoyr ababil yang memporak porandakan pasukan Abraham.
Sedangkan bala, hampir sama dengan musibah, hanya skalanya lebih personal
dan berhubungan dengan human error atau terkait erat dengan hukum sebab-akibat.
Misalnya karena kecerobohan dan kelengahan maka seseorang mengalami kecelakaan.
Musibah di sini dapat dicontohkan dengan salah seorang anggota keluarga tercinta kita
meninggal dunia,dokter memvonis kita menderita penyakit akut,
atau mendapatkan fitnah keji dari orang lain, atau mengalami kekecewaan berat,
misalnya gagal dipromosi, gugur dalam seleksi, dijauhi oleh teman, dan semacamnya.

Kondisi batin seperti ini pasti sangat menyakitkan dan membuat orang menjadi putus asa
serta kehilangan optimisme dan harapan hidup.
Bahkan kondisi seperti ini seringkali membuat seseorang berfikir atau melakukan solusi
jalan pintas misalnya dengan nekat bunuh diri, menjauh dari keramaian,
dan hanyut di dalam kesengsaraan, atau menceburkan diri di dalam kehidupan gelap
seperti mengkonsumsi obat penenang destruktif seperti narkoba dan sejenisnya.
Bagi orang yang beragama, cara terbaik yang harus dilakukan ialah kembali kepada Tuhan.
Kita harus yakin bahwa sebesar apapun sebuah problem pasti itu masih tetap
di ambang batas kemampuan daya dukung hamba-Nya.
Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak mungkin membebani sesuatu
di luar batas kemampuan dan daya dukung hamba-Nya.

”Alloh tidak akan membebani hamba-Nya
melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
(Q.S. al-Baqoroh/2:286).

Dalam perspektif tasawuf, musibah atau kekecewaan hidup adalah salah satu wujud
”surat cinta” Tuhan kepada hamba-Nya.
Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya tetapi yang bersangkutan terkecoh
dan tersesat dengan kesenangan duniawinya.
Akhirnya Tuhan mengutus musibah atau kekecewaan kepadanya
dan ternyata ia secara efektif kembali kepada Tuhannya.
Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan atau dalam kondisi berkecukupan
seringkali lebih sulit untuk melakukan pendakian (taroqqi) kepada Tuhannya,
karena semua kebutuhannya terpenuhi.
Dalam keadaan seperti ini banyak orang yang lalai untuk berdoa.
Ibadah yang dilakukan sebatas kewajiban, bukan betul-betul karena mencintai Tuhannya.
Tingkat kekhusyukan ibadahnya dengan sendirinya lemah.
Kiat menyikapi musibah kita harus tawakkal, menyerahkan diri secara total
dan sepenuhnya kepada Alloh SWT.

Kita harus yakin bahwa musibah dan kekecewaan ini adalah pilihan terbaik Tuhan untuk kita.
Alloh SWT mencintai hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari siksaan lebih pedih
dan lebih lama. Nabi SAW pernah bersabda:
” Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit, kesulitan hidup,
kesengsaraan, hingga semisal duri yang menusuk kakinya, melainkan itu semua
berfungsi sebagai pencuci dosa masa lampau” (Hadis Muttafaq ’Alaih/sangat shohih).
Dalam kesempatan lain Rosulullah SAW pernah bersabda: ”Jika Alloh SWT
menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Ia menyegerakan siksaan-Nya
(di dunia) dan jika Alloh SWT menghendaki sebaliknya kepada hamba-Nya
maka Ia menunda siksaan-Nya di hari kiyamat” (Hadis dari Anas, riwayat Turmudzi).
Musibah dan kekecewaan tidak mesti diratapi terlalu lama,
bahkan sebaliknya kita perlu mengambil hikmah yang amat penting darinya.

Seringkali kita harus bersyukur bahwa musibah memang membawa kekecewaan hidup
tetapi pada saat bersamaan kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus diri kita dengan Tuhan.
Bahkan kedekatan itu tidak pernah dirasakan sebelumnya.
Seringkali justru rasa kedekatan itu lebih menonjol ketimbang rasa kekecewaan itu.
Ini artinya musibah membawa nikmat dan betul-betul musibah terasa sebagai
”surat cinta” Tuhan kepada kekasih-Nya.
Semenjak musibah itu terjadi, semenjak itu terjadi perubahan total hubungan diri kita dengan Tuhan.
Sebelumnya kita berjarak dengan Tuhan tetapi dengan musibah itu kita tidak lagi
mau berpisah dan berjarak dengan Tuhan.
Musibah kita sikapi dengan tawakkal dan mengikhlaskan diri kita kepada-Nya.

Semua itu sudah suratan takdir dan telah tercatat di buku blue print (lauh mahfudz).
Jalanilah kehidupan ini dengan datar dan lurus.


Kekuatan tawakkal dan ikhlas akan memberikan power dan keajaiban di dalam diri kita.
Ini jaminan Tuhan: ”Jangan berduka cita, sesungguhnya Alloh bersama kita”
(Q.S. al- Taubah/9:40).
Kiat menjalani dan mempertahankan sikap tawakkal dalam diri kita,
diajarkan oleh kalangan guru-guru tasawuf, dengan menghayati secara mendalam
dua kalimat syahadat.
”Tidak ada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosul Alloh”.
Dengan diawali kalimat negasi, menafikan segalanya,
kalau perlu menafikan keberadaan wujud kita sendiri.
Seolah-olah yang ada dan eksis di jagat ini hanyalah Dia, Alloh SWT.
Kita melenyapkan hakekat dan substansi diri kita lalu larut kepada
suatu Wujud Yang Maha Abadi.
Kita bagaikan mayat yang hanyut di sungai, ke mana pun sungai itu bermuara
di situlah kita akan dibawa.

Terimalah dirinya apapun adanya, karena semua orang membawa takdir dirinya masing-masing.
Ma’rifah seperti ini lebih mudah muncul ketika kita sedang sujud di atas hamparan sajadah
di hadapan kebesaran Alloh SWT.
Lupakanlah musibah dan kekecewaan itu, hilangkanlah semuanya,
kalau perlu lupakanlah keberadaan dirinya, seolah-olah yang ada hanyalah Dia Sendiri.
Tidak ada lagi sosok yang ditimpa musibah, tidak ada juga sosok orang yang mendatangkan musibah,
tidak ada lagi dendam dan tidak ada lagi yang sakit.
Semuanya kembali dan menyatu dengan-Nya.
Seolah musibah itu datang untuk menghapus memori gelap masa lampau kita.
Ikhlas yang sesungguhnya memberikan rasa optimisme ke dalam diri setiap orang.
Orang yang menjalani keikhlasan penuh tidak akan pernah merasa sedih, sakit, lelah,
dan kecewa, karena semua yang dilakukan semata-mata karena Alloh SWT.
Karya dan pengabdian yang dilakukan bukan karena Alloh SWT
itulah yang sering menyedot energi batin seseorang.

Yang bersangkutan sering merasa kecewa, lelah.
Bahkan sakit karena harapannya berbeda dengan respons
yang diberikan orang lain terhadapnya.

Jika semuanya kita niatkan seikhlasnya dan kita serahkan sepenuhnya kepada Alloh SWT
maka hidup ini pasti tenang, tidak akan merasa kecewa, tidak akan bersedih,
tidak pernah merasa jatuh, dan mungkin tidak akan pernah lagi kita merasa sakit.

0 komentar:

Posting Komentar