-

About

javascript:void(0)

Senin, 16 Januari 2012

Agar Pernikahan Membawa Berkah

Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak
ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan
oleh Rosululloh SAW; “Semoga Alloh memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu,
dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya
akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya.
Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan
tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan,
baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah).
Wujud ketidak berkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi,
baik yang bersifat materil ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi.
Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan
menurunnya semangat beramal/beribadah.
Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi,
akan tetapi melimpahnya harta
dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang
kapasitasnya walau pun sudah menikah.
Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna;
dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat
dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha,
bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya
sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga,
sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian.
Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap
dalam pergaulan bebas dan narkoba.
Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah)
terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh
rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik.
Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Alloh SWT sebagaimana diungkap
dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan.
Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas
yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rosul dalam kehidupan sebagaimana
ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah,
lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thobroni dan Al-Baihaqi).
Oleh karena nikah merupakan sunnah Rosul, maka selayaknya proses menuju pernikahan,
tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rosul.
Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria
ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta);
dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir).
Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri
dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rosululloh SAW.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang
yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu
mengendalikan syahwatnya.
Alloh SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini;
“ Tiga golongan yang wajib Aku (Alloh) menolongnya, salah satunya adalah orang
yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga
sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usroh islami)
yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga,
sehingga mampu menjadi rohmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya.
Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan
dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Alloh SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama),
padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan.
Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur),
pemikiran (fikroh), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing
dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk
sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan
dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian.
Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada
pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada
pada suami/isteri.
Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah)
dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang,
selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya.
Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi
suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan,
dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya
perbedaan-perbedaandalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak,
juga selera (makanan, pakaian, dsb).
Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh)
dapat menjadi sumber konflik/perdebatan.
Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada
dan memupuk kelebihannya.
Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Alloh sebutkan dalam QS. Al Baqoroh:187),
maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan
yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya
meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasul lakum wa antum libasul lahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri
harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan
yang tidak boleh dipandang secara terpisah.
Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya;
dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri,
begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama
untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan,
yaitu:
(1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta,
(2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta,  
(3) Al-Maghfiroh yaitu memintakan ampun pada Alloh untuk orang lain.
Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat,
sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi
awal konflik yang berlarut-larut.
Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi,
tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawaroh)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan
rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis.
Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih
juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri
atau orang tua-anak menjadi terputus.
Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit
bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati),
kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban
atau alternatif solusi.
Misalnya saat bersama setelah menunaikan sholat berjama’ah, saat bersama belajar,
saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian,
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan
sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.

Al Qur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung
dalam keluarga Ibrahim AS sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shooffaat:102,
yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Alloh kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibroh yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-anak,
Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat
pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Alloh,
adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Alloh, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal
kepada Alloh; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana
dengan kehendak Alloh yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Alloh SWT mengingatkan kita dalam Al Qur’an surat At Taghobun ayat 14:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.
Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka)
maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Peringatan Alloh tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap
dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadang kala menunjukkan sikap seperti
seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah
walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan,
menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri,
tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami,
anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan,
pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya.
Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati,
bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh,
maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran.
Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan
pasangan suami/isteri yang memang diluar kesanggupannya.
Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal
yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh,
begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya.
Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi)
untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:
“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”.
Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.

Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga.
Rosululloh mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita,
disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Alloh lewat jerih payah suami seberapapun besarnya
dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain,
adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak
dengan segala potensi dan kecenderungannya,
adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat
“menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan.
Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Alloh, sebagaimana firmannya:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih
(QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Alloh, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka
dengan pendidikan Robbani sehingga menjadi keturunanyang menyejukkan hati.
Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang,
maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Ya Robb kami, karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata,
dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Robb kami, karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Robb kami, karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Robb kami, karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridho-i.

Ya Robb kami, jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan sholat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rosul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Alloh
dalam Al Qur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shoofaat:100 ; QS.Ali-Imron:38; QS.
Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40).
Pada intinya keturunan yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata
(Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna
(thoyyibah), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Alloh karena misi risalah dien
yang diperjuangkannya (wali rodhi), dan senantiasa dekat dan bersama Alloh (muqiimash-sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut,
disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik,
lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai,
keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyaroh bil Ma’ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman,
maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah,
diantaranya dengan mu’asyaroh bil ma’ruf.
Rosululloh SAW menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang
yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rosululloh) adalah orang yang paling baik
terhadap isteriku.” (HR.Thobroni & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan
 berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah.
Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah)
anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata
dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal,
akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak
yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban,
kedamain, dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan.
Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional
dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya.
Oleh karena itu Rosululloh SAW mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah
(Laa taghdhob).
Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristighfar
dan mohon perlindungan Alloh (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya
berwudhu dan mendirikan sholat.
Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri
dan berilah ma’af, karena Alloh menyukai orang yang suka mema’afkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami,
segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang.
Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, b
aik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Alloh (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Alloh dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah),
sebagaimana Alloh tegaskan dalam QS. Ar-Ro’du:28.
“Ketahuilah dengan mengingat Alloh, hati akan menjadi tenang”.
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa,
yang bergantung hanya kepada Alloh saja (ta’alluq billah).
Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Alloh, mustahil seseorang dapat mewujudkan
tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga.
Rosululloh SAW sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati:
“Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika”
(wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten
dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Alloh (taqorrub ilalloh),
sehingga ia merasakan kebersamaan Alloh dalam segala aktifitasnya (ma’iyatulloh)
dan selalu merasa diawasi Alloh dalam segenap tindakannya (muroqobatulloh).
Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga,
melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap
dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, sholat tahajjud, shoum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll.
Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban
dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi
sarana mencapai taqwa dimana Alloh SWT menjamin orang-orang yang bertaqwa,
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Tholaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi)
dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh
niscaya Alloh akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Alloh akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga,
baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah
dengan rumah dan perabotan yang serba lux.
Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman
adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan
dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rosululloh, yaitu :
(1) Isteri yang sholihah,
(2) Rumah yang luas,
(3) Kendaraan yang nyaman, dan
(4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman
tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah
dan kendaraan dinas.
Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan
yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Alloh SWT yang telah menyediakan syurga
dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa,
dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat,
dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga.
Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali-Imron : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga,
maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Alloh kemudian memanggil
dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga;
sebagaimana dikabarkan Alloh dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”.
(QS, Az-Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka
(di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).

Inilah keberkahan yang hakiki.

0 komentar:

Posting Komentar