-

About

javascript:void(0)

Rabu, 18 Januari 2012

Mencermati Kondisi Batin Ketika Melakukan Dosa Besar


• Orang yang tergelincir ke dosa besar seringkali melenting ke atas
   melampaui posisi sebelumnya.
   Dengan kata lain, dosa dan maksiat seringkali menjadi momentum

   untuk lebih dekat dengan Tuhan, mengapa?
• Bagaimana menjadikan dosa sebagai anak tangga menuju Tuhan?

Dosa dan maksiat bukan saja perbuatan tercela dan terlarang,
melainkan juga membutakan mata hati, memadamkan nurani.
Lebih dari itu, dosa dan maksiat juga membawa kegelisahan
sehingga ketenangan hidup terganggu.

Jelasnya, dosa dan maksiat merendahkan derajat dan kualitas kemanusiaan.
Semua yang dilarang Tuhan adalah musuh kemanusiaan dan semua yang diperintahkan
dan dianjurkan Tuhan demi untuk martabat kemanusiaan.

Tuhan tidak butuh untuk disembah tetapi manusialah yang membutuhkan penyembahan itu, karena di balik penyembahan dan ketaatan itu tersimpan hikmah dan berbagai kemaslahatan untuk manusia dan kemanusiaan.
Seandainya semua manusia mogok untuk menyembah kepada-Nya
maka tidak sedikit pun mengurangi kapasitas dan eksistensi-Nya sebagai Tuhan.
Sebaliknya seandainya semua manusia taat kepada-Nya bagaikan malaikat sekalipun

maka tidak akan berpengaruh terhadap Dirinya.
Perintah dan larangan Tuhan adalah bukti kemaha-pengasih dan penyayang-Nya
terhadap hamba-Nya, khususnya kepada manusia, yang diberikan spesifikasi khusus

sebagai kholifah, representatif Tuhan di jangat raya ini.
Meskipun diberi kekhususan sebagai kholifah, manusia tetap sebagai hamba (’abid)
yang harus menyembah kepada Tuhan, sebagaimana halnya makhluk-makhluk lainnya. Konsekwensi tugas kekholifahan yang diemban manusia,
Alloh SWT menundukkan seluruh alam semesta kepadanya,
bahkan di dalam penciptaan awal manusia (Adam), para makhluk diperintahkan hormat

dan sujud kepadanya sebagai bukti kehebatan dan keutamaan manusia.
Memang ada yang membangkang dan keberatan untuk sujud,
yaitu Iblis bersama komunitasnya, makanya itu mereka dikutuk.
Untuk mencari partner di neraka maka mereka diberi kesempatan

untuk menggoda manusia sampai akhir zaman.
Konsep penundukan alam semesta (taskhir) tidak bisa diartikan semacam ”SIM”
untuk mengeksploitasi alam raya melampaui daya dukungnya.
Alam raya tidak akan tunduk dan tidak lagi akan bersahabat kepada manusia
manakala melampaui batas-batas yang telah digariskan Tuhan.
Alloh SWT bukan hanya Tuhan manusia sebagai makhluk mikrokosmos
tetapi juga Tuhan alam raya sebagai makhluk makrokosmos.

Relasi makhluk mikrokosmos dan makhluk makrokosmos adalah relasi kekholifahan.
Sedangkan relasi mikrokosmos-makrokosmos dan Tuhan adalah relasi penghambaan.
Karena itu, dosa tidak boleh dimaknai hanya sebagai masalah relasi vertikal
antara makhluk dengan Sang Kholiq, tetapi dosa juga terkait dengan masalah
relasi horizontal antara sesama makhluk.
Dan makhluk di sini bukan hanya sesama manusia, apa lagi hanya sebatas sesama muslim,
tetapi juga sesama makhluk, baik makhluk hidup maupun makhluk benda mati.

Bukankah kata ”benda mati” itu hanya ada dalam kamus manusia?
Bagi Tuhan dan para malaikatnya, tidak ada istilah benda mati.
Semunya itu bertasbih dan menyembah Tuhan, hanya kita yang tidak memahami tasbih

dan bentuk ibadah mereka.
Demikian kesimpulan di dalam berbagai ayat Al-Qur’an.
Dosa dan maksiat memang menjatuhkan dan menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan
tetapi kalau itu disadari dalam bentuk kesadaran puncak (taubat nashuha)
maka tidak mustahil itu melentingkan kembali yang bersangkutan ke atas,

bahkan mungkin lebih tinggi dari pada posisinya semula.
Dosa dan maksiat sangat berpotensi dan dapat dijadikan titik masuk seseorang
untuk lebih dekat kepada Tuhannya.
Tidak jarang para pendosa yang taubat justru lebih baik dari pada orang-orang biasa.
Ini mungkin disebabkan karena ia sudah mampu membandingkan betapa jauh jaraknya

antara suasana batin yang taat dan yang durhaka kepada-Nya.
Namun ini tidak berarti sebuah ajakan kepada kita untuk mencicipi dosa
guna meningkatkan kesadaran dan keimanan, sebab betapa banyak bahkan
jauh lebih banyak para pendosa jatuh dan tidak melenting ke atas,
melainkan bagaikan bola yang jatuh di dalam lumpur, tidak lagi melenting ke atas,

malah justru terbenam di dalam lumpur kehinaan.
Para pendosa yang berpotensi melenting ke atas ialah mereka yang karena dosa dan maksiat
yang dilakukannya betul-betul membuat dirinya terpukul dan kecewa,
mengapa dirinya harus melakukan sesuatu yang amat bodoh di dalam hidupnya.
Karena itu ia menyesal sejadi-jadinya seraya menjalani proses pembersihan diri

dengan penuh ketekunan.
Menurut Imam Ghozali, dalam kitab Ihya’ `Ulumud-Din, seorang pendosa diminta
untuk tidak sekedar istighfar (membaca lafaz istighfar) melainkan harus menjalani
rangkaian proses taubat, yaitu:

1) Memperbanyak mengucap istighfar,
2) dengan segera meninggalkan dosa dan maksiat itu,
3) menyesal sejadi-jadinya terhadap kekeliruan yang telah dilakukannya,
4) bertekad dan berikrar untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan tercela itu

    dalam hidupnya,
5) mengganti dan menutupi perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal-amal kebajikan

    yang ikhlas,
6) kalau dosa itu berupa mengambil hak orang lain maka harus segera mengembalikannya 

    sesegera mungkin,
7) menghancurkan daging yang bertumbuh di dalam dirinya yang berasal dari produk
    haram dengan cara melakukan riyadhoh dan mujahadah, yakni menjalani latihan jasmani

    dan rohani dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Alloh SWT.
8) sesegera mungkin meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti atau dikecewakan itu.

Jika ini semuanya dipenuhi maka seseorang berhak mendapatkan pengampunan Alloh

terhadap dirinya.
Banyak pendosa yang telah melakukan tahapan pertobatan itu dengan baik dan tekun.
Mereka selalu menangisi dosa masa lampaunya di dalam sujud tahajjudnya di tengah malam. Bahkan air matanya tak pernah bisa dibendung jika mengingat kembali berbagai dosa

yang pernah dilakukannya.
Penyerahan diri secara total seperti ini mendapatkan janji pengampunan Alloh SWT.
Ada ulama yang pernah  mengatakan bahwa: ”Air mata taubat itulah
yang akan memadamkan api neraka.
Bahkan Alloh SWT mencintainya, sebagaimana hadits yang pernah dikutip
Al-Ghozali dalam kitabnya: ” Alloh lebih senang mendengarkan jeritan taubatnya

para pendosa ketimbang gemuruh tasbihnya para ulama”.
Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa ” Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang
yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqoroh/2:222).
Yang penting bagi yang bersangkutan tidak mempermainkan Tuhan

dengan pembatalan-pembatalan taubat.
Seorang sufi, Yahya bin Mu’adz pernah mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa

setelah taubat jauh lebih buruk dari pada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum taubat.
Kata Dzun Nun: “Beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskankan diri dari dosa itu
adalah taubatnya para pendusta.
Barang siapa bertaubat, kemudian tidak membatalkan taubatnya,
maka ia termasuk orang bahagia”.

Subhanalloh, alangkah beruntungnya orang yang demikian ini.
Bagi para pendosa tidak sepantasnya putus asa terhadap dosa-dosanya.
Sebesar apapun dosa seseorang pasti jauh lebih besar pengampunan Tuhan.
Tidak ada artinya dosa besar jika yang datang adalah wajah Tuhan Yang Maha Pengasih

dan Penyayang.
Yang penting bagi kita adalah penyerahan diri secara total terhadapnya.
Terserah Dia,… jika Dia akan memasukkan kita ke dalam neraka itu adalah hak-Nya,

tetapi tidak ada yang bisa menghalangi-Nya, jika Dia akan memaafkan hamba-Nya.
Apakah Dia akan menyiksa hamba-Nya yang sudah rebah dan bersujud
di hadapan kebesaran-Nya sambil menangis memohon ampun dan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada-Nya.
Bukankah Dia lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun
ketimbang sebagai Tuhan Maha Pemarah dan Maha Penghukum.
Tidak sedikit para pendosa mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar